Selasa, 14 Mei 2013

deindustrialisasi


Deindustrialisasi?


Tidak sesekali kita mendengar berita atau pernyataan bahwa perekonomian kita mengalami gejala deindustrialisasi. Gejala ini ditunjukkan dengan menurunnya produksi barang2 industri, berkurangnya ekspor produk industri, menurunnya peran sektor industri dalam PDB, berkurangnya tenaga kerja di sektor industri, menurunnya kredit sektor industri, berkurangnya jumlah perusahaan industri, menurunnya investasi di sektor industri, dsb.
Berita di media massa sering menunjukkan adanya gejala deindustrialisasi, misalnya beberapa waktu yang lalu tersiar berita beberapa jenis industri mengalami tekanan, seperti industri-industri rotan, pengalengan ikan, pupuk, pakan ternak, keramik, penyedap rasa, dll. Ada baiknya dilakukan studi komprehensif mengenai hal ini sehingga kita mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang sedang terjadi.

Penyebab
Gejala deindustrialisasi juga menjadi isu besar di negara-negaa maju maupun berkembang. Di AS, misalnya, gejala ini sudah berlangsung agak lama, ditunjukkan dengan pindahnya pabrik-pabrik industri pengolahan ke India, Vietnam, dll. untuk mengejar upah buruh yang lebih murah. Di negara-negaa lain gejala deindustrialisasi muncul belum terlalu lama, terutama disebabkan oleh masuknya produk-produk murah dari China. Seperti di sini, sejak perjanjian FTA diberlakukan, produk dari China masuk dan merontokkan industri lokal satu demi satu. Jadi deindustrialisasi tidak terjadi secara alamiah, namun sebagai akibat dari faktor luar, yaitu China, yang dengan penuh kekuataan membanjiri dunia dengan produk2 industrinya.

China memang harus melakukan hal ini, tidak hanya untuk keperluan positioningjangka pendek, namun untuk jangka panjang. Pemerintah China harus memberikan lapangan kerja bagi ratusan juta warganya, yang jika tidak, maka akan terjadi kekacauan sosial yang bisa membuat negara China tercerai berai. Maka pemerintah China melakukan apa saja yang dianggap perlu untuk mendorong pertumbuhan industrinya: menekan upah, memberikan kredit murah, memberikan insentif untuk investasi asing, menyediakan lahan, membangun infrastruktur, memberantas korupsi, menyediakan pasokan energi, membentuk FTA dengan banyak negara, bahkan sampai ke Afrika, dll. Ian Bremmer (2010) menyebut sistem yang dijalankan China dengan State Capitalism, dan menyarankan agar negara-negara maju menyiapkan langkah2 serius untuk mencegah dampak merusak dari sistem ini, yang juga dilakukan oleh banyak negara lain, terutama yang mempunyai SDA banyak.
Apa yang harus dilakukan?

Kita tentunya perlu mengatasi masalah ini dengan sungguh-sungguh. Setiap ada informasi bahwa ada satu pabrik saja yang akan tutup hendaknya segera dilakukan langkah-langkah pengamanannya. Dalam skala industri, berbagai usaha memang sudah dilakukan, namun perlu dievaluasi efektivitasnya, seperti peninjauan kembali tarif bea masuk komoditas impor, revitalisasi permesinan, penyediaan gas untuk industri, dll. Kuncinya adalah: lakukan semua yang bisa sedini mungkin untuk mencegah jangan sampai industri domestik tumbang.
Mungkin saat ini pemikiran berbasis text-book harus disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan. Artinya jika proteksi harus dilakukan untuk mempertahankan keberlangsungan industri dalam negeri, maka tidak usah malu-malu mengatakan bahwa Indonesia untuk sementara waktu absen dahulu dari konsensus perdagangan bebas dalam beberapa sektor industri tertentu. Kemudian seluruh komponen bangsa secara bersama-sama menyusun strategi membangun industri yang berbasis pada realita, bukan berbasis literatur, lalu melakukannya secara sungguh-sungguh. Namun jika strategi ini sudah ada, maka perlu dikomunikasikan kepada berbagai pihak terkait, untuk dilaksanakan bersama-sama. Dengan demikian sektor industri akan berkembang semakin pesat: menyediakan barang, lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat.