Deindustrialisasi?
Tidak sesekali kita
mendengar berita atau pernyataan bahwa perekonomian kita mengalami gejala deindustrialisasi.
Gejala ini ditunjukkan dengan menurunnya produksi barang2 industri,
berkurangnya ekspor produk industri, menurunnya peran sektor industri dalam
PDB, berkurangnya tenaga kerja di sektor industri, menurunnya kredit sektor
industri, berkurangnya jumlah perusahaan industri, menurunnya investasi di
sektor industri, dsb.
Berita di media massa sering menunjukkan adanya gejala
deindustrialisasi, misalnya beberapa waktu yang lalu tersiar berita beberapa
jenis industri mengalami tekanan, seperti industri-industri rotan, pengalengan
ikan, pupuk, pakan ternak, keramik, penyedap rasa, dll. Ada baiknya dilakukan
studi komprehensif mengenai hal ini sehingga kita mempunyai gambaran yang jelas
mengenai apa yang sedang terjadi.
Penyebab
Gejala deindustrialisasi
juga menjadi isu besar di negara-negaa maju maupun berkembang. Di AS, misalnya,
gejala ini sudah berlangsung agak lama, ditunjukkan dengan pindahnya
pabrik-pabrik industri pengolahan ke India, Vietnam, dll. untuk mengejar upah
buruh yang lebih murah. Di negara-negaa lain gejala deindustrialisasi muncul
belum terlalu lama, terutama disebabkan oleh masuknya produk-produk murah dari
China. Seperti di sini, sejak perjanjian FTA diberlakukan, produk dari China
masuk dan merontokkan industri lokal satu demi satu. Jadi deindustrialisasi
tidak terjadi secara alamiah, namun sebagai akibat dari faktor luar, yaitu
China, yang dengan penuh kekuataan membanjiri dunia dengan produk2 industrinya.
China memang harus melakukan hal ini, tidak hanya
untuk keperluan positioningjangka pendek, namun untuk jangka
panjang. Pemerintah China harus memberikan lapangan kerja bagi ratusan juta
warganya, yang jika tidak, maka akan terjadi kekacauan sosial yang bisa membuat
negara China tercerai berai. Maka pemerintah China melakukan apa saja yang
dianggap perlu untuk mendorong pertumbuhan industrinya: menekan upah,
memberikan kredit murah, memberikan insentif untuk investasi asing, menyediakan
lahan, membangun infrastruktur, memberantas korupsi, menyediakan pasokan
energi, membentuk FTA dengan banyak negara, bahkan sampai ke Afrika, dll. Ian
Bremmer (2010) menyebut sistem yang dijalankan China dengan State Capitalism,
dan menyarankan agar negara-negara maju menyiapkan langkah2 serius untuk
mencegah dampak merusak dari sistem ini, yang juga dilakukan oleh banyak negara
lain, terutama yang mempunyai SDA banyak.
Apa yang harus
dilakukan?
Kita tentunya perlu
mengatasi masalah ini dengan sungguh-sungguh. Setiap ada informasi bahwa ada
satu pabrik saja yang akan tutup hendaknya segera dilakukan langkah-langkah
pengamanannya. Dalam skala industri, berbagai usaha memang sudah dilakukan,
namun perlu dievaluasi efektivitasnya, seperti peninjauan kembali tarif bea
masuk komoditas impor, revitalisasi permesinan, penyediaan gas untuk industri,
dll. Kuncinya adalah: lakukan semua yang bisa sedini mungkin untuk mencegah
jangan sampai industri domestik tumbang.
Mungkin saat ini pemikiran berbasis text-book harus
disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan. Artinya jika proteksi harus
dilakukan untuk mempertahankan keberlangsungan industri dalam negeri, maka
tidak usah malu-malu mengatakan bahwa Indonesia untuk sementara waktu absen
dahulu dari konsensus perdagangan bebas dalam beberapa sektor industri
tertentu. Kemudian seluruh komponen bangsa secara bersama-sama
menyusun strategi membangun industri yang berbasis pada realita, bukan berbasis
literatur, lalu melakukannya secara sungguh-sungguh. Namun jika strategi ini
sudah ada, maka perlu dikomunikasikan kepada berbagai pihak terkait, untuk
dilaksanakan bersama-sama. Dengan demikian sektor industri akan berkembang
semakin pesat: menyediakan barang, lapangan kerja dan pendapatan bagi
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar