Senin, 12 Januari 2015

Tatkala Kapitalisme Kangkangi Pendidikan




TATKALA KAPITALISME MENGANGKANGI PENDIDIKAN
(Kritik Terhadap Pendidikan Berbasis Dunia Kerja)
Nanang Wijaya, S.Sos
A. WAJAH AWAL PENDIDIKAN (Sebuah Pendahuluan)
Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal. Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan kamil). Benjamin Bloom mengatakan ada tiga fungsi pendidikan yang kemudian disebutnya sebagai taksonomi pendidikan yaitu (1) fungsi afektif ; untuk membentuk watak, sikap dan moralitas yang luhur (affective domain) (2). Fungsi kognitif ; Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (cognitive domain) (3). Fungsi Psikomotorik ; untuk melatih keterampilan (psychomotorik domain). Dan ketiga aspek merupakan tolak ukur keberhasilan pendidikan pada anak didik. Merupakan ketimpangan pendidikan jika hanya satu yang menonjol dari ketiga fungsi pada anak didik.
Memaknai 3 fungsi diatas maka sesungguhnya pendidikan berbicara mengenai penanaman kecakapan hidup (life skill) yang didalamnya terdapat kecakapan akademik kognitif, kecakapan afektif (emosional, sosial dan spritual) serta kecakapan psikomotorik, meminjam rumusan UNESCO – pendidikan meliputi ; (1) kecakapan untuk berpikir dan mengetahui (learning how to think). (2) kecakapan untuk bertindak (learning how to do). (3). kecakapan (individual) untuk hidup (learning how to be). (4). kecakapan untuk belajar (learning how to learn) dan (5) kecakapan untuk hidup bersama (learning how to life together). Kecakapan-kecakapan itulah yang kemudian dipergunakan untuk menjalankan hidup secara layak dan manusiawi. Secara sederhana sesungguhnya tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia (mengerti atas dirinya, lingkungan dan tujuan hidupnya) bukan pendidikan untuk mencari pekerjaan.
Poulo Freire mengatakan bahwa pendidakan haruslah berorientasi pada pengenalan terhadap realitas dunia dan diri manusia itu sendiri. Seorang manusia yang tidak mengenal realitas dunia dan dirinya sendiri, tidak akan sanggup mengenali apa yang ia butuhkan, apa yang akan dia lakukan dan apa yang ingin dia capai. Pendidikan haruslah menjadi proses pemerdekaan, pembebasan dan kekuatan penggugah (subversive force) untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Maka diharapakan output dari pendidkan adalah manusia-manusia yang memiliki kesadaran kritis atas konstalasi social dimana dia hidup dan mampu melakukan perubahan atas situasi social yang cenderung merugikan. Output pendidikan adalah sosok pembaharu, pengubah, pemimpin, teladan dan kreatif.
Untuk mencapai hal tersebut maka pendidikan haruslah diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Alih-alih mendapatkan sosok out put pendidikan yang ideal, ternyata tiap hari kita disuguhkan dengan berita-berita tentang prilaku-prilaku anak bangsa yang mengaku berpendidikan yang sangat tidak bermoral. Korupsi, narkoba, pembunuhan, penculikan, tawuran massa dan prilaku kriminal lainnya seolah-olah telah menjadi wajah bangsa ini. Justru yang kita lihat sehari-hari adalah sosok kriminal, pecundang dengan mental yang sangat rendah. Maka patutlah kita bertanya : ADA APA DENGAN PENDIDIKAN NEGERI INI ?
B. PERUBAHAN PARADIGMA MASYARAKAT ATAS PENDIDIKAN
Kapitalisme dan materialisme adalah anak kandung dari moderinisasi, sehingga ketika modernisasi menjamah seluruh lapisan masyarakat. Maka mau tidak mau, kapitalisme dan materialisme juga ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat. Akibat perubahan pola pikir ini terjadi perubahan yang sangat radikal atas cara pandang masyarakat terhadap pendidikan saat ini. Cita-cita luhur pendidikan yang begitu luhur saat ini telah terabaikan oleh masyarakat. Keinginan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan emosional/spritual, kecerdasan intelektual serta memiliki keterampilan tereduksi sedemikian rendanya. Pendidikan pada akhirnya dilihat oleh masyarakat dari cara pandang materialisme dan kapitalisme.
Indikator yang dapat terbaca pada masyarakat adalah motivasi masyarakat untuk mengikuti pendidikan. Motivasi tersebut tereduksi pada motif untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan orientasi penghasilan, bukan lagi berorientasi pengetahuan, kecerdasan dan kesadaran. Saat ini orang masuk sekolah karena ingin dapat pekerjaan yang menghasilkan.
PENGETAHUAN
PESERTA DIDIK —- SEKOLAH —- KECERDASAN —–PERUBAHAN SOSIAL
KESADARAN
PESERTA DIDIK ————–SEKOLAH ————-IJAZAH ———-PEKERJAAN
Akibatnya sekolah adalah tempat untuk mendapatkan ijazah, karena ijazah adalah syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini berimplikasi pada sikap dan prilaku baik masyarakat maupun peserta didik yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan ijazah. Tradisi menyontek, plagiat, menyuap, membayar ijazah, membayar skripsi, dll lahir dari paradigma materialisme ini.
AWALNYA SEKOLAH ADALAH TEMPAT MENUNTUT ILMU
SEKARANG SEKOLAH ADALAH TEMPAT MENDAPAT IJAZAH
Cara pandang ini juga berpengaruh pada pemilihan masyarakat terhadap jurusan-jurusan (program) studi yang diminati atau yang dipilih. Program studi yang dianggap berhubungan dengan dunia industrilah yang banyak dipilih, seperti tekhnik, kedokteran, komputer, dll. Sementara program-program studi ilmu humainora menjadi jarang untuk dipilih. Untuk tingkat SMU, jurusan IPA menjadi kebanggan seolah-olah menrupakan jaminan masa depan.
Sehingga saat ini kita akan kesulitan untuk menemukan output pendidikan yang benar-banar memiliki kesadaran atas arti pentingnya pengetahuan yang memiliki kesadaran kritis atas realitas, yang memiliki kepekaan humanity dan rasa solidaritas yang tinggi. Yang ada adalah uotput yang memiliki sikap individual yang tinggi, tidak matang dalam pengetahuan dan tidak memahami makna hidup. Dan sekarang output seperti inilah yang banyak mengelolah negara ini.
C. HEGEMONI KAPITALISME ATAS PENDIDIKAN
Mengikuti teori Francis Fukuyama yang memprolamirkan kemerdekaan kapitalisme atas didologi apapun, maka kenyataannya kapitalisme telah menghegemoni dunia pendidikan kita. Hal ini dapat dilihat dari proses industrialisasi pendidikan kita. Proses industrialisasi pendidikan dapat dilihat/dipahami dalam dua pengertian, yaitu ; (1). Pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat. (2). Sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa (oleh skenario kapitalisme) untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis.
Peter McLaren mengatakan, dalam dunia kapitalisme, sekolah adalah bagian dari industri, sebab sekolah adalah penyedia tenaga kerja/buruh bagi industri. Ada tiga pengaruh kapitalisme terhadap sekolah, yaitu (1). Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan telah mengakibatkan praktek-praktek sekolah yang cenderung mengarah kepada kontrol ekonomi oleh kaum elit. (2). Hubungan anatar kapitalisme dan ilmu telah menjadikan tujuan ilmu pengetahuan sebatas mengejar keuntungan. (3). Perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan serta kapitalisme dan ilmu telah menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan martabat manusia. Pada akhirnya peserta didik dalam dunia pendidikan kita kehilangan senstifitas kemanusiaan digantikan dengan kalkulasi kehidupan materialisme.
Sekolah-sekolah terkooptasi oleh mekanisme industri dan bisnis, dimana sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi. Mau tidak mua, kurikulum pendidikan juga ikut terpengaruh, misalnya dalam hal menentukan ilmu pengetahuan mana saja yang perlu dipelajari oleh peserta didik, yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri. Maka terciptalan kurikulum yang sepenuhnya berwatk kapitalistik. Indikator yang dapat kita lihat adalah sedikitnya jam pelajar untuk ilmu-ilmu humaniora dan moral dibandingkan dengan pelajaran lainnya.
AWALNYA : SEKOLAH —————- MANUSIA SEUTUHNYA
SEKARANG : SEKOLAH —————- TENAGA KERJA UNTUK INDUSTRI
Pada filosofi seperti inilah lahir PENDIDIKAN BERBASIS DUNIA KERJA.
Pertanyaannya adalah apakah kita harus menolak Pendidikan berbasis dunia kerja ???
Sementara realitas telah menuntut kita untuk seperti itu, ketika kita menolak bukankah realitas akan meninggalkan kita. Pertanyaan ini dijawab oleh tiga paradigma pendidikan dengan jawaban yang berbeda.
D. TIGA PARADIGMA PENDIDIKAN
1. Paradigma Konservatif, akan menerima keadaan apa adanya dan menyesuaikan diri dengan tuntutan realitas tanpa mempertanyakan apapun. Dan mayoritas masyarakat
2. Paradigma Liberal/Demorkat, akan mengubah beberapa tuntutan realitas dan sedikit menyesuaikan diri.
3. Paradigma Kritis, dengan cara mengubah realitas yang dianggap menindas dan merugikan dan tidak sesuai dengan filosofi pendidikan. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan yang mendasar (revolusioner) dimasyarakat, dengan melakukan penentangan terhadap ketidakadilan, ketimpangan dan sistem yang menindas, melalui proses penyadaran kritis yang mencerahkan dan membebaskan.
E. CARUT MARUT PENDIDIKAN NASIONAL
Terlepas perdebatan atas pendidikan berbasis dunia kerja. Kita tidak boleh melupakan kondisi-kondisi lain dari pendidikan kita.
1. Anggaran pendidikan yang belum memenuhi kewajiban kenstitusinya. Bangsa ini ternyata belmu memeliki kesadaran atas pentingnya pendidikan, sehingga lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan yang lain dibandingkan dunia pendidikan. Celakanya lagi, bahwa anggaran pendidikan (yang sedikit itu) di korup di sana-sini. Sehingga Departemen Pendidikan Nasional tergolong instansi terkorup oleh BPK
2. Kesejahteraan Guru (Pendidik) yang masih jauh dari harapan. Dimana penghasilan setiap pendidik masih jauh dari pemenuhan kebutuhan kehidupannya. Akibatnya, konsentrasi dan kesiapan dalam proses belajar mengajar terganggu dan tidak matang. Guru memang bukanlah profesi yang menjanjikan secara materi kecuali sekedar gelar ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Tingkat kesejahteraan yang rindah inilah memaksa para guru untuk mencari penghasilan diluar penghasilan sebagai guru untuk menutupi kekurangan kebutuhannya, yang akhirnya akan menggangu proses belajar-mengajar di sekolah.
3. Fasilitas pendidikan sangat minim dan sangat diskriminatif, dimana terdapat perbedaan yang sangat mencolok kepemilikan fasilitas pendidikan dibeberapa sekolah, akibatnya output yangdihasilkan pun sangat terpengaruh. Sehingga kita masih banyak temukan gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk, gedung sekolah yang masih berdinding papan atau berlantai tanah, sekolah yang tidak memiliki perpustakaan (kalau pun ada, isinya adalah buku-buku lama). Sekolah yang tidak memiliki laboratorium
F. PENUTUP
Bangsa ini akan maju jika pengelolaan pendidikannya dikelolah secar benar. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini begitu banyak. Dan semuanya menunggu dari pengelolaan pendidikan yang tepat. Sehingga SDA dan SDM tersebut dapat mensejahterakan masyarakat bangsa ini. Termasuk Daerah Sulawesi Tengah sebenranya memiliki SDA dan SDM yang cukup banyak dan beragam.
Dibutuhkan model pendidikan revolusioner (Peter McLaren & Paula Allman) dengan paradigma kritis yakni pola pendidikan yang menekankan pengembangan danpenguatan kesadaran peserta didik atas realitas sehingga mereka dapat menempatkan diri sebagai subyek dalam realitas tidak sekedar obyek. Apalagi hanya sekedar tenaga kerja. Sebab yang dibutuhkan sekarang adalah jiwa kepemimpinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar